Penggunaan atas tes-tes pada orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda diuji dari berbagai sudut dalam bagian-bagian yang berbeda dari buku ini. Bab 18 memperhatikan pertimbangan etis dan sosial, terutama dengan rujukan pada kelompok minoritas dalam suatu
budaya nasional yang lebih luas. Dalam bagian ini, kami akan menyajikan beberapa isu teoretis dasar tentang peran budaya dalam perilaku, dengan rujukan khuss kepada penggunaan dan interpretasi dari skor-skor tes inteligensi.
budaya nasional yang lebih luas. Dalam bagian ini, kami akan menyajikan beberapa isu teoretis dasar tentang peran budaya dalam perilaku, dengan rujukan khuss kepada penggunaan dan interpretasi dari skor-skor tes inteligensi.
Bidang Psikologi Budaya. Tiga dasawarsa terakhir dari abad duapuluh menyaksikan suatu pertumbuhan yang mencolok dalam riset dan tulisan tentang pskologi budaya (Berman, 1990; Irvine & berry, 1988). Bahkan ada konperensi internasional yang dikhususkan terutama untuk topik itu (lihat misalnya Brislin, 1993) ; Cronbach & Drenth, 1972; Manolea, 1995). Bidang ini memperhatikan terutama perbedaan perilaku di antara kelompok yang dibesarkan dalam konteks bdaya yang sangat berbeda. Konteks-konteks tersebut dapat sesempit rukun tangga atau desa, atau seluas sebuah bangsa atau benua. Lagi pula, beberapa budaya yang dikenal luas, seperti Hispanik di Amerika Serikat, mempunyai sub-budaya, seperti budaya Meksiko, Kuba, Puerto Rico, dan Amerika Tengah Amerikta Selatan, yang cukup berbeda dan perlu diidentifikasi supaya bisa memahami perilaku individual (lihat, misalnya Geisinger, 1992 ; Marin & Marin, 1991).
Peran budaya dalam perilaku manusia dapat dipahami sebagai satu bentuk dari spesifitas dominan, serupa dengan yang dikenal dalam psikologi kognitif. Mulai dengan analisis proses psikologis dasar, seperti belajar, mengingat, memecahkan masalah, dan emosi, para psikolog kognitif segera menyingkapkan bahwa proses-proses tersebut dimanifestasikan dalam perilaku yang merupakan spesifik-dominan. Misalnya, ingatan (memori)-atau pemecahan masalah, atau penalaran-mungkin sangat bervariasi ketika seseorang bermain catur, mengerjakan matematik, atau menulis esai.
Psikologi budaya mulai dengan telaah perilaku dalam budaya yang sangat beraneka ragam dan belum dikenal sebelumnya yang sungguh berbeda dari budaya penyelidik sendiri. Psikologi tersebut cepat berkembang menjadi penjelajahan atas riwayat pengalaman dari orang-orang yang dibesarkan dalam budaya yang berbeda. Pada hakikatnya, bidang psikologi budaya terbaru menggambarkan suatu pengenalan akan kekhasan budaya dari semua perilaku manusia, yang padanya proses prikologis dasar bisa menghasilkan kinerja, sikap, pemahaman diri, dan pandangan terhadap dunia yang sangat berbeda dalam anggota-anggota populasi budaya yang berbeda. Pada hakikatnya, bidang psikologi budaya terbaru menggambarkan suatu pengenalan akan kekhasan budaya dari semua perilaku manusia, yang padanya proses psikologis dasar bisa menghasilkan kinerja, sikap, pemahaman diri, dan pandangan terhadap dunia yang sangat berbeda dalam anggota-anggota populasi budaya yang berbeda (L.L Adler & Gielen, 1994 : Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992 ; Diaz-Guerrero, 1990 ; Schweder & Sullivan, 1993). Sumbangan budaya semakin dikenal dan terintegrasi dalam semua bidnag psikologi, mulai dari riset teori tentang rentang kehidupan perilaku sosial, emosi atau pemikiran, di satu pihak, sampai praktik organisasi-industrial, klinik atau psikologi bimbingan (counseling), di lain pihak.
Kesadaran yang bertumbuh akan peran faktor-faktor kultural di segala bidang psikologi ditunjukkan dalam program konvensi tahunan 1994 dari American Psychological Association (APA, 1994). Selain sebuah Lokakarya Pendidikan Berkelanjutan yang berlangsung sehari penuh tentang ”Kepekaan Budaya dalam Penilaian dan Intervensi”, Kuliah Master tahunan dikhususkan untuk topik tentang Perspektif Internasional tentang Psikologi Silang Budaya”. Dalam seri-seri ini, enam psikolog yang dikenal secara internasional membahas aspek-aspek yang berbeda dari topik ini. Kuliah-kuliah ini sendiri merupakan bagian dari Topical Miniconvention tentang ”Keanekaragaman Budaya : Masa Depan Amerika”, yang disampaikan selaman konvensi APA yang berlangsung 5 hari penuh. Indikasi lebih lanjut dari orientasi silang budaya yang bertumbuh cepat dari psikologi disajikan oleh terbitnya jurnal baru, Budaya dan Psikologi (1995).
Perbedaan Kultural Versus Hambatan Kultural. Bila para psikolog mulai mengembangkan instrumen untuk testing silang-budaya dalam perempat pertama abad kedua puluh, mereka berharap bahwa hal itu akan menjadi sekurang-kurangnya secara teoritis mungkin untuk mengukur “hipotensi intelektual bawaan” secara independen tentang dampak dari pengalaman budaya. Perilaku individual dianggap harus dibebani sejenis lapisan budaya yang penetrasinya menjadi obyektif tentang apa yang kemudian disebut tes-tes “bebas budaya”. Perkembangan selanjutnya dalam genetik dan psikologi telah menunjukkan kesesatan dari konsep ini. Kami sekarang mengakui bahwa faktor-faktor lingkungan dan keturunan berjalan secara bersama pada semua tahap dalam perkembangan organisme dan bahwa efek-efeknya terjalin erat dalam perilaku yang dihasilkan. Bagi manusia, budaya merasuki hampir semua kontak lingkungan. Karena semua perilaku memang dipengaruhi oleh milieu budaya tempat individu dibesarkan dan karena tes-tes psikologi adalah tidak lain dari sampel-sampel perilaku, pengaruh budaya akan dan seharusnya dicerminkan dalam kinerja tes. Oleh karena itu adalah sia-sia untuk mencoba menemukan sebuah tes yang bebas dari pengaruh budaya. Selanjutnya, sarannya adalah menyusun tes yang mensyaratkan hanya pengalaman (culture-common), “adil-budaya” (culture-fair), dan “silang-budaya” (cross-cultural) menggantikan label bebas budaya (culture-free) sebelumnya.
Namun demikian tidak ada tes tunggal yang dapat diterapkan secara universal atau sama “adil” (fair) terhadap semua budaya. Ada banyak varietas dari tes-tes culture-fair sejumlah seperti parameter dalam mana budaya-budaya itu berbeda. Sebuah tes non baca bisa merupakan culture-fair dalam satu situasi, tes non-bahasa dalam situasi lainnya, tes kinerja dalam situasi ketiga, dan tes adaptasi verbal yang diterjemahkan dalam situasi keempat. Varietas-varietas dari tes-tes silang-budaya tidak dapat saling dipertukarkan namun bermanfaat dalam jenis-jenis yang berbeda dari perbandingan silang-budaya. Lagi pula, tidak mungkin bahwa tes apapun dapat sama “adil” (fair) terhadap lebih dari satu kelompok budaya, khususnya jikka budaya itu agak tidak sama. Walaupun mengurangi perbedaan-perbedaan dalam kinerja tes, tes-tes silang budaya tidak dapat sepenuhnya menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Setiap tes cenderung menguntungkan orang yang berasal dari budaya tempat tes itu dikembangkan. Penggunaan kertas dan pinsil atau presentasi tugas-tugas abstrak yang tidak mempunyai arti praktis segera akan menguntungkan beberapa kelompok budaya dan menghambat kelompok budaya lain. Faktor-faktor emosional dan motivasional juga mempengaruhi kinerja tes. Di antara banyak kondisi relevan yang berbeda dari budaya ke budaya mungkin bisa juga disebutkan di sini minat intrinsik akan isi tes, hubungan dengan pemberi tes, dorongan untuk berhasil dalam tes, hasrat untuk melebihi yang lain, dan kebiasaan pemecahan masalah secara individual atau kelompok di masa lampau.
Perbedaan-perbedaan budaya menjadi hambatan-hambatan budaya bila keluar dari budaya atau sub-budaya tempat dia dibesarkan dan berusaha keras untuk berfungsi, bersaing atau berhasil dalam budaya yang lain. Akan tetapi dari sudut pandangan yang lebih luas, kontak-kontak dan saling pertukaran antara budaya-budaya ini juga merangsang kemajuan peradaban. Isolasi budaya, walaupun mungkin lebih menyenangkan bagi individu-individu, mengarah ke stagnasi masyarakat.
Konsep yang terkait adalah tentang perampasan budaya. Walaupun istilah ini digunakan dalam banyak arti yang berbeda, Feuerstein (1980, 1991 ; Feuerstein, 1991) memberikan suatu arti khusus pada konsep itu dan menjadikannya satu titik fokus dalam program pelatihan kognitifnya. Dan menganggap perampasan budaya sebagai suatu keadaan berkurangnya modifiabilitas (kemampuan berubah) kognitif, yang disebabkan karena kurangnya pengalaman belajar terperantara (mediated). Pengalihan terakumulasi tentang budaya dari satu generasi ke generasi berikut merupakan satu peristiwa yang jelas manusiawi. Dalam proses ini, orang tua atau pengasuh lain bertindak sebagai agen perantara dalam menyeleksi dan mengorganisasikan rangsangan yang dihadapi oleh anak. Feuerstein menganggap belajar yang terperantarai (mediated) itu penting bagi perkembangan kognitif anak, sejauh itu mendorong penetapan perangkat belajar, orientasi, dan pola perilaku lain yang memudahkan pembelajaran berikut. Anak-anak yang, karena alasan apa saja, gagal mengalami belajar terperantarai (mediated) itu kekurangan prasyarat untuk pemfungsian kognitif level-tinggi. Sebaliknya mereka yang memiliki pengalaman belajar terperantarai dalam kultur mereka sendiri telah mengembangkan keterampilan dan kebiasaan yang dituntut untuk kemampuan berubah (modifiabilitas) secara terus menerus, dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan dari sebuah budaya baru sesudah periode transisi yang relatif singkat. Juga mungkin bahwa, di negara-negara yang sedang berkembang, para psikolog yang adalah anggota dari budaya asli (pribumi) akhirnya akan mengembangkan dan menggunakan tes-tes yang sesuai bagi budaya tersebut.
Dari sudut pandang yang berbeda, eksistensi melulu dari stereotipe budaya bisa secara langsung mempengaruhi kinerja tes individual (Steele, Spencer, & Aronson, 1995). Sebuah program riset jangka panjang menemukan bukti bahwa pengetahuan tentang stereotipe yang ada bisa mempengaruhi beberapa peserta tes dalam motivasi dan sikap mereka terhadap tes melalui kebingungan, pemahaman-diri, berkurangnya usaha, dan harapan yang rendah terhadap kinerja yang berhasil. Reaksi ini telah disebut kerentanan (vulnerability) stereotipe dan ternyata telah mempengaruhi skor-skor tes baik dalam perbandingan jenis kelamin maupun etnik. Supaya efektif, program-program tindakan afirmatif membutuhkan lebih dari sekadar pelatihan pemulihan khusus. Dalam sekurang-kurangnya beberapa kasus individual, harapan kinerja dalam bidang-bidang khusus, seperti verbal, matematik, atau ruang (spatial), bisa menuntut perhatian khusus, untuk menghindari kegagalan yang dilakukan oleh orang-orang yang akan sebaliknya berkinerja pada level normal atau superior.
Bahasa dalam Testing Trans Budaya. Kebanyakan tes silang-budaya tradisional memanfaatkan isi (content) non verbal dengan harapan bisa memperoleh satu ukuran yang lebih mendekati culture-fair dari fungsi-fungsi intelektual yang sama melalui tes inteligensi verbal. Kedua pengandaian yang mendasari pendekatan ini dapat dipertanyakan. Pertama, tidak dapat diandaikan bahwa tes-tes nonverbal mengukur fungsi-fungsi yang sama seperti tes verbal, namun bisa saja tampak serupa. Sebuah tes analogi spasial itu sesungguhnya bukan sebuah versi nonverbal dari sebuah tes analog verbal. Beberapa dari tes-tes nonbahasa awal, seperti Army Beta, sarat sekali dengan visualisasi spasial dan kemampuan pemahaman, yang tidak terlalu berhubungan dengan kemampuan verbal dan numerik. Bahkan dalam tes-tes seperti Raven’s Progressive Matrices dan tes-tes nonbahasa lain yang secara tidak sengaja dirancang untuk menampung penalaran dan konseptualisasi abstrak, analisis faktorial telah menyingkapkan sebuah sumbangan besar dari faktor-faktor nonverbal pada berbagai skor tes (misalnya, R.S. Das, 1963). Temuan-temuan terseb ut dibenarkan oleh riset yang lebih baru dalam psikologi kognitif, yang telah menunjukkan secara berulang spesifisitas isi (content) dari proses berfikir. Strategi dan keterampilan pemecahan masalah dikembangkan sambil menjawab domain isi tertentu dan dalam konteks tertentu.
Dari sudut pandangan berbeda sekelompok bukti yang sedang berkembang mengemukakan bahwa tes-tes nonbahasa bisa lebih bermuatan budaya ketimbang tes bahasa. Penyelidikan-penyelidikan atas kelompok-kelompok budaya yang lebih bervariasi dalam banyak negara menemukan perbedaan-perbedaan kelompok lebih besar dalam tes kinerja dan tes nonverbal lainnya dibanding dalam tes verbal (Irvine, 1969a, 1969b, ; Jensen, 1968 ; Ortar, 1963, 1072 ; Trimble, Lonner & Boucher, 1983 ; Vernon, 1969). Ada juga bukti bahwa tes-tes gambar bisa menjadi lebih terarah ke efek-efek pelatihan ketimbang tes-tes verbal dan numerik (Irvine, 1983). Penggunaan representasi gambar itu sendiri bisa tidak memadai dalam budaya yang tidak akrab dengan gambar yang representatif. Sebuah reproduksi dua-dimensi atas sebuah obyek bukan merupakan suatu replika yang persis (eksak) sesuai asinya ; reproduksi itu hanya menghadirkan isyarat-isyarat tertentu yang, sebagai hasil dari pengalaman masa lalu, mengarah ke pemahaman obyek. Jika isyarat-isyarat itu sangat dikurangi, seperti dalam sebuah gambar kepala untuk mewakili keseluruhan orangnya, dan jika perlunya pengalaman masa lalu itu tidak ada, pemahaman yang tepat tidak mungkin menyusul. Sekarang ada kumpulan besar data empiris yang menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam pemahaman gambar oleh orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda. (R.J. Miller, 1973 ; Segal, Campbell & Herskovits, 1966).
Masih dari sudut lain, tes pemahaman ruang yang nonverbal sering menuntut proses pemikiran yang relatif abstrak dan karakteristik gaya kognitif analitik dari budaya Barat kelas-menengah (Berry, 1972 ; R.A. Cohen, 1969). Orang-orang yang dibesarkan dalam konteks budaya lain mungkin sangat tidak akrab dengan pendekatan pemecahan masalah tersebut. Budaya-budaya itu berbeda dalam nilai yang mereka tempatkan pada generalisasi dan dalam pencarian ciri umum dalam pengalaman-pengalaman yang berlainan. Dalam beberapa budaya, perilaku itu khususnya terpaut pada konteks dan situasi. Jawaban terhadap pertanyaan bisa tergantung pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan pada apa jenis content yang tercakup (Cole & Bruner, 1971 ; Goodnow, 1976 ; Neisser, 1976, 1979).
Tentu saja tidak ada kesulitan prosedural dalam melaksanakan tes verbal di seluruh budaya yang membicarakan bahasa bersama. Bila perbedaan bahasa memerlukan suatu terjemahan tes, masalah yang timbul menyangkut komparabilitas norma dan ekuivalensi skor. Perlu dicatat juga bahwa sebuah terjemahan yang sederhana jarang memuaskan. Beberapa penyesuaian dan revisi umumnya diperlukan. Mungkin ada isi soal yang lebih akrab dalam satu budaya daripada budaya lainnya. Bahkan perbedaan-perbedaan yang lebih halus bisa sangat mempengaruhi kinerja. Misalnya, panjangnya kata yang relatif atau kesamaan bunyi antara kata-kata yang berbeda dalam salah satu bahasa bisa mengubah kesulitan membaca antara dua bahasa (Valencia & Rankin, 1985). Karena banyak hal dimana versi-versi tes yang diterjemahkan bisa berbeda dari aslinya, maka komparabilitas tidak dapat diandaikan (Duran, 1989 ; Marin & Marin, 1991). Standard Testing (AERA, APA, NCME, 1985, Bab 13) menguraikan secara jelas bahwa kehandalan, validitas, dan norma-norma dari versi yang diterjemahkan harus ditetapkan secara mandiri bagi populasi tempat tes itu akan digunakan.
Hendaknya terpikirkan bahwa faktor-faktor budaya yang mempengaruhi jawaban tes juga mungkin mempengaruhi domain perilaku lebih luas yang untuk itu tes ditetapkan untuk menjadi sampel. Dalam budaya Inggris misalnya, penguasaan yang tidak memadai akan bahasa Inggris bisa menghambat seorang anak tidak hanya pada sebuah tes inteligensi melainkan juga dalam kegiatan sekolah, kontak dengan sesama siswa dan kegiatan bermain ; dan itu semua lalu bisa mengganggu perkembangan intelektual dan emosi selanjutnya. Dalam seorang dewasa, hal itu dapat secara serius membatasi kinerja jabatan, hubungan antarpribadi, dan kegiatan hidup yang berarti lainnya. Banyak contoh serupa lainnya dari perbedaan budaya yang dapat disebutkan. Beberapa dari perbedaan-perbedaan kognitif ; lainnya yang menyangkut sikap atau motivasi, seperti kekurangan minat terhadap ativitas intelektual, permusuhan dengan tokoh-tokoh yang berwenang, dorongan prestasi yang rendah, atau pemahaman diri yang jelek. Semua kondisi tersebut dapat diperbaiki oleh beberapa sarana, mulai dari pelajaran bahasa dan pelatihan membaca dan menulis sampai bimbingan pribadi dan psikoterapi. Semuanya mungkin mempengaruhi baik kinerja tes maupun kegiatan hidup sehari-hari anak dan orang dewasa.
Pentingnya bahasa dalam baik kinerja tes maupun kegiatan hidup sehari-hari mengarah ke pengembangan tes-tes kecakapan bahasa dalam bahasa asli maupun bahasa yang dipelajari. Kebanyakan tes yang tersedia dewasa ini di Amerika Serikat berhubungan dengan Bahasa Inggris dan Spanyol. Satu daftar tes-tes sampel, juga acuan-acuan terhadap riset, pengembangan, dan evaluasi atas tes-tes tersebut, dapat ditemukan dalam Duran (1989, hlm. 574-577). Untuk mendapatkan laporan lebih luas tentang bilingualisme, lihat de Groot dan Barry (1993).
Situasi Testing. Kontak transbudaya yang cepat meluas di dunia dewasa ini meningkatkan probabilitas tes-tes yang dilaksanakan bagi orang-orang dari budaya yang berbeda. Setiap penguji dapat mengantisipasi testing atas satu atau lebih orang dari sebuah budaya yang lain dari budayanya sendiri. Karenanya pelatihan atas pemberi tes hendaknya mencakup pengetahuan tentang satu atau lebih budaya yang tidak serupa, dengan perhatian khusus pada pengaruh-pengaruh budaya yang mungkin terhadap perkembangan perilaku individual. Bahkan yang lebih penting adalah efek-efek yang mungkin dari perbedaan-perbedaan tersebut terhadap jawaban testing. Misalnya beberapa dari sumber yang luas perilaku testing yang berbeda adalah variasi dalam pemahaman diri orang, pandangan tentang dunia, tingkat keterbukaan diri, dan kebiasaan menyelesaikan masalah sendirian atau dalam kelompok.
Sebagaimana sudah ditunjukkan dalam bagian yang lebih awal bab ini, untuk beralih dari sebuah tes bagian-bagian yang khususnya dinilai sulit karena latar belaknag budaya individual hanya akan mengurangi validitas ramalannya dan gagal untuk menyiagakan peserta tes bagi bidang-bidang lain yang membutuhkan pengukuhan atas kinerja efektif dalam konteks yang diantisipasi. Sejalan dengan itu, pendekatan tradisional sudah digantikan oleh solusi yang menggeserkan pemusatan pada perilaku penguji dalam situasi testing.
Tahun 1980-an dan 1990-an telah memproduksi suatu rangkaian buku pegaangan, pedoman, artikel jurnal, dan publikasi lainnya tentang pelatihan dan perilaku yang tepat dari penguji dalam menguji anggota dari budaya lain (Atkinson, Morten, & Sue, 1993 ; Myers, Wohlford, Gzman & Echemendia, 1991, Stricker et al., 1990). Ada yang khususnya berhubungan dengan testing (maha)siswa (Samudra, Kong, Cummins, Lewis, & Pascual-Leone, 1991) ; ada yang berfokus pada anak-anak (Miller-Jones, 1989 ; Rogoff & Morelli, 1989) ; yang lainnya berfokus pada populasi budaya khusus atau salah satu dari subdivisinya (Dana, 1984 ; Diaz-Guerrero & Szalay, 1991) ; namun mayoritas berhubungan dengan masalah umum dari testing silang-budaya. Ini semua merentang dari pedoman-pedoman yang sangat umum dan ditetapkan secara ringkas yang dipublikasikan oleh American Psychological Association sebagai sebuah pamflet singkat pada tahun 1991 dan dicetak ulang pada tahun 1993 yakni American Psychologist (“Guidelines”, 1993), sampai ke suatu laporan yang menyeluruh dan rinci dalam sebuah buku karya Dana (1993). Kedua sumber umum ini hendaknya diuji secara cermat oleh siapa saja yang berencana untuk melaksanakan tes. Juga relevan untuk dicatat bahwa sebuah pembahasan komprehensif tentang varietas, masalah, dan keuntungan dari bilingulisme dapat ditemukan dalam Groot dan Barry (1993).
Pada hakikatnya, peran khusus dari penguji dalam testing silang-budaya mencakup, pertama, mendapatkan informasi penuh, dalam sesi persiapan tentang peserta tes, menyangkut identitas budaya, derajat dan jenis kulturasi, dan karakteristik dari budaya awal yang mungkin mempengaruhi kinerja tes individual. Kedua, perilaku penguji sendiri perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari peserta tes khusus. Sehubungan dengna ini, penguji harus mempertimbangkan bagaimana memperkenalkan tes, bagaimana menjelaskan tujuannya, dan bagaimana memotivasi peserta tes agar berkinerja secara memadai. Lagi pula, cara dari penguji sendiri hendaknya membangun hubungan antar pribadi yang menyenangkan dengan peserta tes. Interpretasi dan penggunaan skor-tes hendaknya secara jelas mempertimbangkan faktor budaya, seperti mungkin sifat dari impan balik d an kepada siapa ditujukan.
Richard Dana (1993) telah mengembangkan satu perangkat daftar pertanyaan untuk membantu para penguji memperoleh informasi yang perlu dari peserta tes. Beberapa dari daftar pertanyaan ini adalah untuk penggunaan umum. Yang lain telah dikembangkan untuk budaya khusus (misalnya, Native Americans, Asian Americans) atau untuk sub budaya khusus di dalamnya. Sebagai komentar penutup, perlu ditambahkan bahwa tekanan pada mendapatkan sekurang-kurangnya beberapa informasi relevan tentang riwayat pengalaman peserta tes untuk memperoleh pemahaman yang tepat dan penggunaan tes skor, menuntut perhatian terhadap praktik yang diperlukan dalam mentes siapa saja, lepas dari perbedaan-perbedaan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar